10 Januari 2013

Menghadap Kelumpur Atau Kelangit

Dikisahkan terdapat
sepasang suami isteri yang
diasingkan oleh masyarakat
ke sebuah gurun yang
gersang. Rumah tersebut
terpencil, jauh dari
peradaban manusia. Karena
kehidupan mereka yang
serba sulit, sang isteri pun
tak tahan dan berniat
meninggalkan suaminya
sendirian di gurun itu. Dia
ingin kembali kepada
keluarganya. Sebelum pergi,
lelaki tersebut berkata
kepada isterinya dengan
maksud memberi nasehat.
“Aku telah mendapat surat
dari ayah yang memuat dua
baris kalimat motivasi. Dua
baris kalimat itu akan aku
sebutkan. Karena dua baris
isi surat ini telah mengubah
perjalanan hidupku. Dua
baris itu adalah:
"DI BALIK POTONGAN - POTONGAN JERUJI PENJARA, ADA DUA ORANG YANG TERPENJARA MUNCUL KE TEPI JALANAN. SALAH SATU DARI KEDUANYA MENGHADAPKAN PANDANGANYA KELUMPUR DI JALANAN, SEDANGKAN YANG SATUNYA MENGARAHKAN PANDANGANYA KE BINTANG -BINTANG DI LANGIT”
Lelaki itu lanjut berkata
berkata kepada isterinya:
“Aku membaca kata-kata ini
dan mengulanginya berkali-
kali. Aku malu terhadap
diriku sendiri karena
dulu pernah mencoba berlari
dari kenyataan hidup yang
susah. Lantas aku berusaha
untuk mengarahkan
pandanganku ke bintang-
bintang di langit. Hingga
saat ini, ketika kita berdua
terasing disini”
Renungan
Yang bisa kita ambil hikmah dari cerita ini.. sudah
diketahui bahwa tinggi
rendahnya harapan dan cita-
cita dilatarbelakangi oleh
perbedaan kemampuan
dalam mengambil manfaat
dari kesusahan-kesusahan
dan situasi-situasi sulit yang
dihadapi. Hidup tidak
pernah lepas dari
permasalahan. Bagaimana
cara kita
menyikapi sebuah
permasalahan, itulah yang
akan mempengaruhi makna
hidup manusia.
“Hal terpenting dalam hidup
ini bukanlah pekerjaan,
pekerjaan kita dapat dan
menghasilkan buahnya.
Sebab, semua orang bodoh
dapat melakukannya.
Sebaliknya, sesuatu yang
sangat penting dalam hidup
ini adalah mengubah
kesulitan-kesulitan
menjadi pekerjaan dan
aktivitas yang
menguntungkan kita.”
Hal ini adalah satu hal yang
menuntut kecerdasan,
sehingga akan dapat
dibedakan antara orang yang
cerdas dan tidak..

Sumber : berbagai sumber cerita motivasi

08 Januari 2013

Sirup Atau Gula Pasir???

Tak ada yang lebih gusar
melebihi makhluk Tuhan
yang bernama gula pasir.
Pemanis alami dari olahan
tumbuhan tebu ini
membandingkan dirinya
dengan makhluk sejenisnya
yang bernama sirup.
Masalahnya sederhana. Gula
pasir merasa kalau selama
ini dirinya tidak dihargai
manusia. Dimanfaatkan, tapi
dilupakan begitu saja. Walau
ia sudah mengorbankan diri
untuk memaniskan teh
panas, tapi manusia tidak
menyebut-nyebut dirinya
dalam campuran teh dan gula
itu. Manusia cuma menyebut,
"Ini teh manis." Bukan teh
gula. Apalagi teh gula pasir.
Begitu pun ketika gula pasir
dicampur dengan kopi panas.
Tak ada yang mengatakan
campuran itu dengan kopi
gula pasir. Melainkan, kopi
manis. Hal yang sama ia
alami ketika dirinya
dicampur berbagai adonan
kue dan roti. Gula pasir
merasa kalau dirinya cuma
dibutuhkan, tapi kemudian
dilupakan.
Ia cuma disebut manakala
manusia butuh. Setelah itu,
tak ada penghargaan sedikit
pun. Tak ada yang
menghargai pengorbanannya,
kesetiaannya, dan perannya
yang begitu besar sehingga
sesuatu menjadi manis.
Berbeda sekali dengan sirup.
Dari segi eksistensi, sirup
tidak hilang ketika
bercampur. Warnanya masih
terlihat. Manusia pun
mengatakan, "Ini es sirup."
Bukan es manis.
Bahkan tidak jarang sebutan
diikuti dengan jatidiri yang
lebih lengkap, "Es sirup
mangga, es sirup lemon,
kokopandan," dan
seterusnya. Gula pasir pun
akhirnya bilang ke sirup,
"Andai aku seperti kamu.
"Sosok gula pasir dan sirup
merupakan pelajaran
tersendiri buat mereka yang
giat berbuat banyak untuk
orang banyak.
Sadar atau tidak, kadang
ada keinginan untuk diakui,
dihargai, bahkan disebut-
sebut namanya sebagai yang
paling berjasa. Persis
seperti yang disuarakan gula
pasir.
Kalau saja gula pasir paham
bahwa sebuah kebaikan kian
bermutu ketika tetap
tersembunyi. Kalau saja gula
pasir sadar bahwa setinggi
apa pun sirup dihargai, toh
asalnya juga dari gula pasir.
Kalau saja gula pasir
mengerti bahwa sirup
terbaik justru yang berasal
dari gula pasir asli.
Kalau saja para penggiat
kebaikan memahami
kekeliruan gula pasir, tidak
akan ada ungkapan, "Andai
aku seperti sirup!
Dalam kehidupan keseharian
kita entah di kantor, di
lingkungan rumah, maupun
lingkungan profesi sekalipun,
seringkali kita mendapati
ada orang-orang tertentu
seperti gula pasir yang
banyak berjasa bagi orang
lain tetapi tidak terliat,
tidak mendapatkan apresiasi
yang layak, dihargai
sumbangsihnya, maupun yang
lebih ekstrim adalah
dianggap sosok pelangkap
semata, bahkan dicibir dan
diremehkan.
Tak mengapa! Gula pasir
tetaplah bagaikan sosok
mutiara di antara lapiran
pekat Lumpur atau buah
kelapa diantara rimbuan
pohon di hutan belantara...
yang
Tetap memancarkan cahaya

Sumber : http://e-
motivasidiri.blogspot.com/

Template by : kendhin x-template.blogspot.com